" Ya anak angin itu Mardhiah !"
" Mari ikat anak angin itu ya Bunda!"
LAUT MENDERU. Langit memintal memilin gumpalan kapas suram dengan warna kelam kelabu. Tapi si kecil saling berlarian di pantai. Pantai yang menghala ke Lautan Hindi begitu lapang. Seakan menemukan batas pantai dengan garis laut menyatu ke garis angin. Anak-anak lelaki saling berlompatan bergelutan di timbunan pasir. Si gadis kecil berlarian mengutip kulit siput, kupang, kerang yang sudah sebati mengeras dalam timbunan pasir. Di situlah si Mardhiah kecil berlarian berbimbingan tangan dengan adiknya Mardhalela, dengan mengheret adik kecilnya yang lain Marrahmah. Menjelang senja merekapun berbondong pulang meninggalkan pantai yang semaki gelap seelah teja beralih pergi. Panas pasir masih meruap dengan aroma hamis tetapi kanak-kanak itu bagi tahu, esok bila Bunda tiba di kampung di pinggir pantai itu, ibu-ibu mereka dengan stengah curiga dan gembira juga, mengizinkan si kecil berlarian ke pantai.
Mereka mengintai dari jauh melihat Bunda ketawa riang turut membantu sikecil melakar di pasri mematah ranting- ranting kecil melempar ke arah laut. Lagu laut menyatu dnegan terikan gembira si kecil. Mereka para ibu si ekcil tidak pernah melakuknan hal demikian. Anak-anak mereka tumbuh seadanya. SEelah melihat dengan pandangan mata anak-anak mereka menyeberang jambatang gantung menuju ke arah jalan raya, berjalan kaki menju sekolah di hujung tekongan. Tengahari mereka menyambut anak-anak pulang ke arah tambak udang. Mereka hanya melepas dan menyambut seadanya. Malam merekatahu anak-anak si kecil mereka akan ke pondok kecil milik Bunda yangsudah menjadi tempat anak-anak mengaji. Zulfikar , ustaz muda dari pesantren di atas bukit akan datang mengajar anak-anak si kecil mereka mengaji dan menghafaz Mukaddam dan Al Quran. Sehinggalah menjelan bulan Julai atau Oktoer, anakanak mereka akan berdebar menunggu kunjungan Bunda. Bunda itulah yang kegiragan di pantai bersama anak-anak mereka.
(bersambung...)
